Lampung Utara (HP), 19 Agustus 2025 –
Berakhirnya masa berlaku Hak Guna Usaha (HGU) atas lahan seluas 2.400 hektare di wilayah tanah ulayat masyarakat Kecamatan Abung Timur dan Kotabumi Utara, Kabupaten Lampung Utara, memicu sorotan tajam dari Ketua LSM Komite Pemantau Legislatif Daerah (Kota Lada), Dedy Hataf, SE, yang akrab disapa Kiyai Dedy.
Menurutnya, HGU yang diberikan kepada beberapa perusahaan telah habis sejak 31 Desember 2019, namun hingga saat ini masih ada aktivitas penggarapan lahan yang dilakukan perusahaan tanpa adanya izin perpanjangan resmi dari pemerintah daerah. DPRD Lampung Utara memang pernah menggelar hearing bersama masyarakat dan pihak perusahaan, namun tidak diikuti dengan langkah nyata dari pihak eksekutif maupun legislatif.
Landasan Hukum HGU di Indonesia
Kiyai Dedy menegaskan bahwa persoalan ini bukan hanya masalah sosial, tetapi juga menyangkut kepastian hukum.
1. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960:
Pasal 28 ayat (1) menegaskan HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai negara untuk usaha pertanian, perikanan, atau peternakan.
Pasal 34 menegaskan bahwa HGU dapat hapus apabila jangka waktunya berakhir dan tidak diperpanjang.
2. Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah:
HGU diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tahun, dapat diperpanjang paling lama 25 tahun, dan dapat diperbarui untuk jangka waktu paling lama 35 tahun.
Permohonan perpanjangan wajib diajukan paling lambat 2 tahun sebelum masa HGU berakhir, sedangkan pembaruan dapat diajukan paling lambat 2 tahun setelah HGU berakhir.
Bila tidak ada pengajuan, maka HGU gugur otomatis dan tanah tersebut kembali menjadi tanah negara.
3. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 22/PUU-V/2007 juga memperkuat bahwa hak atas tanah yang tidak diperpanjang sesuai aturan akan hapus demi hukum.
Fakta di Lapangan
Menurut hasil investigasi tim LSM Kota Lada, meski masa HGU telah habis, masih terdapat aktivitas perusahaan di atas lahan tersebut dengan menggunakan alat berat. Hal ini jelas melanggar ketentuan hukum yang berlaku dan berpotensi menimbulkan konflik horizontal di masyarakat.
“DPRD sudah melakukan hearing, tapi kenapa sampai sekarang tidak ada tindakan tegas? Ini jelas-jelas sudah menyalahi aturan. Pemerintah Provinsi Lampung dan DPRD Lampung Utara harus menyikapi persoalan ini secara serius demi terciptanya suasana yang aman, nyaman, dan adanya kepastian hukum bagi masyarakat Lampura,” tegas Kiyai Dedy.
Dasar SK yang Relevan
Selain merujuk pada UUPA dan PP terbaru, Kiyai Dedy juga mengingatkan adanya dasar hukum lokal, yaitu:
SK Bupati Lampung Utara Nomor AG:200/B.86/SD.II/HK/1980 yang menetapkan tanah enclave pada 37 persil seluas 3.139 hektare, namun hingga kini belum dikembalikan.
SK Gubernur Lampung Nomor G/333/B.IX/HK/1999 yang mengatur peruntukan tanah seluas 2.671 hektare untuk TNI AL KIMAL/pemukiman.
Menurutnya, karena HGU sudah berakhir, seluruh aktivitas perusahaan di area tersebut seharusnya dihentikan.
“SK Gubernur sudah jelas, kalau izin HGU habis maka perusahaan tidak boleh lagi beroperasi. Pemerintah harus segera mengambil tindakan hukum agar tidak muncul kesan ada pihak yang kebal terhadap aturan. Jangan sampai masyarakat menilai ada permainan hukum di balik diamnya pihak-pihak berwenang,” ujar Kiyai Dedy.
Tuntutan LSM Kota Lada
1. Menghentikan seluruh aktivitas perusahaan di atas lahan yang HGU-nya sudah habis.
2. Pemerintah Provinsi Lampung dan DPRD Lampung Utara segera mengambil tindakan hukum, termasuk melakukan penertiban administratif dan penyegelan lahan.
3. Mengembalikan hak masyarakat adat/ulayat sesuai SK Bupati 1980 dan SK Gubernur 1999.
4. Menindak tegas perusahaan yang masih menguasai atau menggarap lahan tanpa dasar hukum.
5. Menjaga kepastian hukum agar masyarakat Lampung Utara merasa terlindungi, sekaligus mendukung visi pembangunan daerah yang aman, nyaman, dan berkeadilan.
Persoalan HGU yang sudah habis masa berlakunya sejak 2019 ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Tanpa penegakan hukum yang tegas, konflik agraria dapat semakin membesar dan menciptakan keresahan di masyarakat. Pemerintah daerah bersama DPRD harus segera menindaklanjuti agar tidak timbul asumsi negatif dan dugaan adanya pihak-pihak yang bermain di luar aturan.
Kepastian hukum adalah kunci, dan keberpihakan pada rakyat harus menjadi prioritas.
—Q-dedy–